Trauma Dumping with How to Make Millions Before Grandma Dies

Syifa Nuri
5 min readMay 25, 2024

--

I fucking hate cancer.

No, not the zodiac after Gemini. The disease.

I lost a lot of my loved ones because of cancer over the years. Two aunts and a grandma. So yeah, I know how M in How to Make Millions Before Grandma Dies felt. He lost his Amah, and I lost my Emak.

Menyaksikan How to Make Millions Before Grandma Dies benar-benar sebuah pengalaman yang berbeda. Bukan hanya soal skripnya yang apik, cerita sedihnya, atau chemistry M dan Amah yang luar biasa. Namun betapa dekatnya pengalaman M sebagai caregiver dan anggota keluarga yang orang tercintanya jadi korban kanker.

Disclaimer: This is a trauma dumping section

Saya memang bukan caregiver utama untuk kedua Uwa dan nenek saya. Namun, ada beberapa momen yang saya alami dengan kedua Uwa saya yang saya lihat begitu lekat ada pada interaksi M dan Amah. Dan momen-momen tersebut, bahkan setelah belasan tahun berlalu, tetap lekat dalam ingatan saya, menimbulkan rasa sakit dan rindu pada sosok mereka.

Saya kehilangan Uwa pertama di tahun 2008. Ingatan saya yang waktu itu masih kelas 5 SD masih agak buram, tapi saya ingat pasti beberapa kali menemani Uwa terapi alternatif ke Bandung.

Uwa saya yang satu itu, adalah salah satu favorit saya. Ia tak banyak bicara, tapi saya bisa merasakan rasa sayangnya yang begitu besar pada saya.

Melihat Amah terbaring lemah dengan kepala plontosnya, feeding tube tersambung ke tubuhnya, dan mata yang sudah tak fokus membawa saya kembali ke ingatan 16 tahun lalu, saat Uwa terbaring lemah di ranjang Rumah Sakit Dharmais.

Saat itu saya dipanggil pulang lebih awal dari sekolah. Masih dengan seragam putih merah itu, saya mengunjungi Uwa di rumah sakit. Saya tak ingat kami mengobrol soal apa. Tapi yang pasti, saya merasa agak sedih dan bingung karena ketika pulang, Ibu meminta saya mendoakan Uwa dan mencium kepalanya dengan lembut.

Ternyata, itu adalah ciuman terakhir saya untuk Uwa.

Kenangan-kenangan lainnya paling banyak datang dari pengalaman Uwa yang kedua. Sampai sekarang, ombak dukanya masih sering datang dan bikin saya enggak bisa bergerak.

Saya cukup dekat dengan Uwa. Ia adalah Uwa perempuan satu-satunya dari keluarga ayah saya yang tersisa. Ia tak punya suami dan anak, serta tinggal sendirian. Alhasil, saya sering menginap di rumahnya. Saya pun sempat menumpang di rumahnya masa-masa awal bekerja di Jakarta.

Seperti Amah, Uwa juga terlambat didiagnosis. Kanker parunya sudah stadium 4 ketika pertama kali diperiksa. Dokter bahkan tak menyarankan pengobatan invasif dengan jenis apa pun karena kondisi Uwa yang terus menurun.

Cara M merawat Amah di sepanjang film mengingatkan saya pada akhir pekan yang saya habiskan di rumah Uwa, sekitar 2 minggu sebelum ia berpulang.

Saya, adik, dan ibu menemani ayah, yang jadi caregiver Uwa, menginap di rumah Uwa. Uwa sudah terlalu lemah untuk berjalan. Ia hanya bisa tertidur sepanjang hari di kasurnya. Namun ketika ia terbangun, Uwa masih sosok yang sama. Ia masih lucu, saya masih jahil padanya.

Ada banyak momen bersama Uwa saat itu yang membekas di ingatan saya. Untuk pertama kalinya, saya menyuapi Uwa makanan pada pagi, siang, dan malam.

Untuk pertama kalinya juga, saya sadar betapa lemahnya Uwa ketika harus memapahnya ke kamar mandi untuk buang air. Ia benar-benar menyandarkan beban tubuhnya pada saya dan ayah yang membantunya.

Adegan M mengantar Amah berobat ke rumah sakit juga cukup men-trigger perasaan yang saya rasakan kala mengantar Uwa berobat ke rumah sakit sekitar 1 minggu sebelum kepulangannya.

Kala itu saya sengaja mengambil jatah WFH untuk membantu ayah dan ibu mengantar Uwa untuk kontrol rutinnya. Pembagian tugasnya, ayah mengurus administrasi, ibu dan saya menemani Uwa menunggu giliran.

Kami memang tak harus datang subuh-subuh seperti Amah, tapi kami menunggu hampir seharian sampai Uwa bisa masuk ke ruang dokter.

Momen menunggu dokter itu, saya banyak berdua dengan Uwa saja. Kami tak banyak bicara, tapi saya ingat menyuapinya lontong yang saya beli di depan rumah sakit, memberinya minum dengan sedotan, memijat kakinya yang pegal, dan mendorong kursi rodanya ke tempat mengukur tekanan darah.

Sayangnya, kondisi Uwa terus memburuk hingga sore hari ia hanya bisa terbaring lemah di ranjang IGD, menunggu giliran untuk masuk ICU.

Ayah dan ibu sibuk mengurus administrasi, berdebat dengan perawat kenapa Uwa tak kunjung dapat kamar. Uwa yang hanya bisa tertidur, sesekali meminta saya untuk mengipasinya karena merasa sesak. Parunya memang sudah terendam cairan yang membuatnya sulit bernapas.

Sayangnya, saya hanya bawa kipas tangan saja. Alhasil tangan saya agak lelah mengipasi setelah beberapa lama. Uwa saya yang melihatnya hanya bisa berkata, “Nanti belikan Uwa kipas, ya. Yang pakai baterai. Kamu yang belikan. Biar nanti kamu enggak capek.” Saya hanya bisa berjanji akan membelikannya saat sempat.

Ternyata, itu adalah perkataan terakhir Uwa pada saya sebelum ia berpulang. Kondisinya terus menurun hingga akhirnya hilang kesadaran sebelum berpulang seminggu kemudian. Saya enggak sempat membelikannya kipas berbaterai.

Pengalaman saya dengan kisah M dan Amah memang tak sama. Tapi entah kenapa, saya merasa dekat dengan beberapa momen di How to Make Millions Before Grandma Dies.

Salah satunya mungkin adalah bagaimana banyak orang masih terlalu sibuk untuk sekadar mengunjungi keluarganya yang sedang sekarat. Tentu ada saja anggota keluarga yang bersikap seperti Kiang dan Souei pada Amah atau anak-anak Agong. Datang ketika butuh saja, itu pun tak sampai berjam-jam.

Seperti kata Mui, lebih baik tak datang saja.

Hubungan kompleks ibu-anak perempuan juga tergambar jelas di hubungan Amah dan Chew, ibu M. Bagaimana Amah betul-betul tak ingin merepotkan Chew, sampai harus membuatnya tak bisa tidur hanya untuk mengantarnya terapi renang.

Momen-momen pertengkaran kecil itu juga sudah terjadi pada saya dan ibu. Ibu yang tidak ingin merepotkan anaknya. Anak yang ingin membantu ibunya. Anak dan ibu yang tidak bisa berkomunikasi dengan sehat. Berakhir dengan tangis frustrasi keduanya.

Adegan Kiang akhirnya datang mengunjungi Amah di akhir hidupnya itu mungkin adalah momen air mata saya benar-benar pecah. Entah kenapa rasanya lega, melihat anak kesayangan Amah datang juga. Kali ini dengan hati yang tulus.

Lalu momen M tidur berdampingan dengan Amah juga benar-benar bikin saya kangen menginap di kamar Uwa. Sehabis nonton sinetron, biasanya kami akan mengobrol sedikit tentang pekerjaan dan hidup saya, lalu tertidur.

Ya, 30 menit terakhir film memang betul-betul bikin ambyar.

Sekarang masuk ke sedikit review soal film.

Akting dari Billkin dan nenek Usha luar biasa. Chemistry mereka begitu kuat, dengan dialog sederhana tapi manis yang berhasil bikin saya sedikit senyum sedikit nangis.

Dinamika keluarga Amah yang bisa dibilang agak toxic pun betul-betul terasa dekat dengan kehidupan. Jujur saja, pasti ada anggota keluarga kalian yang seperti Souei dan M? Pengangguran tak tahu malu yang bisanya hanya menyusahkan orang tua.

Pasti ada juga, sosok anak seperti Kiang yang punya finansial bagus tapi pelit, sombong, dan menganggap bisa menebus hubungan dengan orang tuanya menggunakan uang (Saya mungkin sering juga seperti ini).

Tapi hal yang paling saya suka adalah pengembangan karakter dari M dan hubungannya dengan Amah. Terasa natural.

Berawal dari cucu yang terasingkan di masa dewasa, datang hanya untuk warisan, berakhir menemukan kembali hubungannya yang hangat dengan sang nenek di akhir masa hidupnya.

Buat M, Amah nomor satu.

How to Make Millions Before Grandma Dies tak hanya berhasil bikin saya menangisi kepergian Amah sekaligus melepaskannya dengan ikhlas. Namun juga berhasil membangkitkan kenangan-kenangan saya dengan orang tercinta yang hidupnya juga direnggut dengan cara yang sama seperti Amah.

Akhir kata, semoga M dikunjungi oleh hantu Amah. Bunganya betul-betul tidak disebar dengan baik!

--

--