Tangis di Atas Motor

Syifa Nuri
3 min readDec 20, 2021

--

I feel grateful for today’s rain. At least I could cry alone, on my motorcycle, the heavy rain splashed towards my face, hiding my tears. So that I don’t look as miserable as I really was.

Dulu, aku selalu menjadikan momen menangis di atas motor sebagai lelucon. Itu jadi sesuatu yang lucu dan pernah terjadi saat SMA dulu. Ketika aku menangisi mantan pacar yang brengseknya gak ketulungan. Rasanya lucu mengingat dulu aku sering menangisinya di atas motor. Menyembunyikan isak tangis dan air mata di balik kaca helm.

Tapi rasanya, sekarang berbeda. Aku melakukannya lagi, menangis sesenggukan di atas motor sepulang kerja. Tapi rasanya gak seperti lelucon. Aku bersyukur dengan hujan deras hari ini. Aku bisa menangis sesenggukan, air mata langsung hilang bercampur dengan air hujan. Setidaknya aku tak perlu khawatir ditanyai oleh mbak kosan yang bingung kenapa wajahku sembab dan basah. Aman-aman saja.

Kesedihan dan amarah memang tak pernah benar-benar meninggalkan tubuhku beberapa waktu belakangan. Rasanya terus menerus menumpuk saja. Rasa marah yang mungkin sudah ada bertahun-tahun dalam diri. Dan aku tak pernah benar-benar punya cara yang sehat dalam menghadapinya.

Aku selalu punya cara yang buruk menghadapi amarah dan kesedihan. Salah satunya sering kali aku lampiaskan ketika sedang membawa kendaraan. Malam ini, seraya memacu motor membelah kemacetan Jakarta di tengah derasnya hujan, lagi-lagi aku tak bisa menahan dorongan itu.

Menyalip mobil yang berkendara seenaknya di tengah jalan. Mendaki jembatan dengan aspal yang licin karena hujan. Kupacu motorku dalam kecepatan yang tak wajar. Bebas rasanya, mengebut layaknya katarsis buatku.

Ketika di puncak jembatan, lagi-lagi pikiran itu datang lagi. ‘Apa yang akan terjadi jika aku terus memutar gas, terpeleset, lalu tergelincir terus hingga masuk ke kolong mobil di depan. Akankah terasa selesai?

Seringkali pikiranku berkelana ke mana-mana saat sedang sendirian. Itu alasannya aku selalu memakai earphone dan memutar musik saat sedang dalam perjalanan. Setidaknya, ada sebagian pikiranku yang tetap sadar dan terus bersenandung mengikuti alunan lagu favoritku.

Tapi tadi, lagu-lagu yang kuputar sama sekali tidak terdengar. Walaupun volume sudah kubesarkan. Amarah dan kesedihan yang aku rasakan terlampau besar, sampai-sampai aku takut tahu-tahu aku sudah tertelan ke dalamnya. Rasanya seperti ada gumpalan besar di dalam diri yang tak mau keluar. Mendorong air mata terus mengalir yang langsung hilang disapu tamparan air hujan.

Jadi orang yang menyimpan rahasia rasanya gak enak. Gak bisa cerita ke siapa-siapa. Apalagi pada orang yang ‘dibohongi’. Bukannya gak mau bikin marah, tapi rasanya malas saja mendengar keributan demi keributan yang rasanya tak pernah absen dari keseharian. Bedanya, kali ini keributan itu bisa meledak-ledak berkali-kali lipat. Aku sudah gak punya energi buat itu.

Selama ini aku selalu penasaran seperti apa rasanya tak harus memilih. Seperti apa berada dalam sebuah tim yang harmonis. Ah, apa yang aku harapkan. Kondisi ini sudah terjadi sejak aku kecil, jadi seharusnya aku sudah terbiasa kan? Tapi kok rasanya semakin capek saja ya, harus memilih salah satu, dan merasa begitu sendirian.

Ingin bicara terus terang, tapi setiap kali aku mencoba, rasanya seperti sedang tenggelam di laut terdalam. Gak punya pelampung, gak bisa berenang (padahal aku jago berenang). Hanya bisa mengepakkan kaki dan tangan seraya berusaha mengambil napas agar tetap hidup.

Aku gak pernah bisa berbicara dengan baik ketika sedang emosi dan marah. Ujung-ujungnya pasti bakal menangis yang akhirnya bikin aku malas melanjutkannya. Alhasil aku akan selalu bilang ‘iya’ dan ‘tidak apa-apa’. Setuju untuk berbohong. Dan akhirnya harus menyimpan semuanya sendiri. Salah satu sifat yang sesekali sangat aku benci.

Sampai saat ini, aku masih merasa sangat buruk. Tak bisa tidur walau berulang kali mencari posisi yang nyaman di atas kasur. Aku hanya bisa menangis, lagi dan lagi dan lagi. Tiap kali memutar ulang percakapan terakhir itu. Sampai hidungku mampat dan mataku terasa benar-benar sembab. Tapi lagi-lagi rasa marah dan sedihku sama sekali tidak hilang. Bingung sekali. Apa dengan begini aku jadi anak jahat?

Tulisanku kali ini memang berantakan dan membingungkan. Maaf ya, aku kan sudah bilang kalau aku memang begitu setiap kali emosi dan marah. Aku hanya ingin curhat saja. Terima kasih sudah mau mendengarkan.

--

--