The So Called South East Asian Representation of Raya and the Last Dragon: Why It’s a Problem

Syifa Nuri
6 min readMar 31, 2021

--

Raya and the Last Dragon is the latest Disney Princess’ movie. Which has great kick ass vibe, with nice story, beautiful world, and stunning visualization. But there’s a great ‘but’ about this so called South East Asian representation, which I really have a problem with.

Well, where should I start?

Pertama kali tahu Disney akan rilis Raya and the Last Dragon, honestly gue cukup excited. Sebuah film Princess Disney yang ngangkat karakter dari Asia Tenggara terdengar luar biasa keren.

Setelah sebelumnya ada Coco dan Moana, sosok Princess dan hero yang berasal dari etnis yang bukan kulit putih. Ini mungkin jadi usaha lanjutan Disney untuk memperluas jangkauan karakter mereka dari sisi etnis ya.

Dan bagi gue, usaha mereka masih sangat sangat jauh dari harapan.

Basically a good movie

Gue mungkin akan menjelaskan lebih dulu soal bagusnya Raya sebagai sebuah film tanpa akan membahas usaha representasi Disney yang terkesan nanggung ini.

Basically Raya sebenarnya termasuk film yang bagus. It’s fun, exciting, cute, adventurous, and loaded with moral values. A typical Disney movie.

Storywise, it’s good. Basically film ini mengangkat soal Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan Indonesia yang artinya bersama-sama tapi tetap satu juga. Ya memang misinya Raya adalah mempersatukan negara-negara yang ada di dunia fantasi Kumandra untuk jadi satu lagi seperti dulu. Negara-negara ini dikisahkan terpecah belah akibat adanya monster Druun, mereka saling berperang akibat perbedaan masing-masing.

Selain cerita, gue juga suka sekali dengan karakter-karakternya. Terutama sosok Sisu, sosok naga yang diperankan oleh Awkwafina. She’s super funny, bikin film ini terasa lebih hidup, menyenangkan, dan ia pun punya chemistry yang oke banget dengan sosok Raya.

Dan tentu saja gue suka sekali dengan visualisasi Kumandra yang ada di sini. It’s colorful and bright, but at the same time quite soothing, if that’s make sense.

Senang sekali melihat elemen yang familiar dengan rumah. Ada rumah yang mirip dengan rumah gadang, pemukiman mirip floating market di Vietnam, baju-baju yang mirip dengan gaya etnis Thailand, pola yang gue rasa mirip batik, senjata mirip keris, koreografi pertarungan yang mirip muay thai dan pencak silat, serta tentu saja wajah orang-orangnya yang tidak bule (hahaha).

Jika hanya menilai filmnya saja, ya gue benar-benar suka kok. Walaupun tidak ada lagu asik di sepanjang film.

Heart di Kumandra

So called representation

Selanjutnya, gue ingin membicarakan soal representasi Asia Tenggara yang katanya sih coba dilakukan Disney lewat Raya. And for me it has a lot of bullshits.

Representasi Asia di ranah film Hollywood khususnya memang selalu jadi masalah, bahkan sampai sekarang. Walaupun memang sudah ada beberapa proyek yang meng-highlight aktor dan aktris Asia dalam cerita mereka.

Contohnya, Crazy Rich Asians dan yang baru ada Minari. Lalu ada series Fresh Off the Boats, show The Mindy Project, Patriot Acts-nya Hasan Minhaj, The Farewell, film Always be My Maybe-nya Ali Wong, dan masih banyak lagi.

Bicara soal ini mungkin akan agak panjang. Tapi memang representasi Asia di Hollywood rasanya kayak bergerak lambat banget. Walaupun dalam beberapa tahun terakhir emang makin gencar.

Asian characters in Hollywood often desexualized or even oversexualized, being portrayed as some lame nerds, or sidelined as that one extras in that one scene in that one movie.

Raya mungkin bisa dibilang jadi sejenis awalan untuk langkah representasi yang lebih besar lagi oleh Disney. Tapi gue rasa masih perlu untuk kasih highlight hal-hal yang salah dilakukan Disney dalam proyeknya ini.

Pertama, they didn’t hire enough South East Asian actors and actresses. Cast film Raya didominasi orang-orang Asia Timur, not South East Asian. Which are two different things.

Sisu, played by Awkwafina

Well, they did hire Kelly Marie Tran as Raya. And she did come from Vietnamese descendant. But that’s just it, I think?

Dari jejeran cast utamanya, enggak ada lagi orang dengan keturunan Asia Tenggara di sana. Kecuali lu memperhitungkan beberapa aktor dan aktris South East Asian as some nameless characters ya.

Coba kita sebutkan, Awkwafina sebagai Sisu is Chinese and Korean American. Lalu ada Daniel Dae Kim sebagai ayahnya Raya, which is a Korean American.

Kemudian Gemma Chan sebagai Namaari, is a British Hong Kongnese. Benedict Wong as Tong, dan Sandra Oh as Virana. Should I keep going?

Sebagian besar dari pengisi suara dalam film ini punya keturunan Asia Timur. Hal ini yang kemudian bikin gue sangat kesal karena lagi-lagi mereka seakan menganggap Asia adalah satu kawasan besar yang sama. That East Asian is South East Asian. Padahal sebenarnya enggak gitu.

Each regions has their uniqueness and differences. Which people do they want to represent? Gue jadi curiga ini lazy casting banget. Padahal ya kalau mau nyari cast South East Asian yang bagus banget, banyak lah!

Harusnya kalau mereka berani ngomong ini adalah film representasi Asia Tenggara, ya mereka harusnya bisa dong hire a bunch of South East Asian actors and actresses yang sama-sama luar biasa berbakatnya dengan orang-orang itu.

Kejadian seperti ini pernah terjadi di film Fantastic Beasts: The Crime of Grindelwald. Warner Bros. hired a South Korean actress, Claudia Kim, to play a South East Asian character.

It’s so messed up. Walaupun waktu film itu keluar, gue mengakui masih mendukung langkah itu karena masih terlampau buta dan didn’t know any better.

Padahal jelas-jelas karakter Nagini yang diperankan Claudia Kim itu adalah sosok wanita siluman ular (Maledictus) yang berasal dari pedalaman hutan di Asia Tenggara.

Namun begitu, orang-orang di belakang layar Raya memang banyak diisi sama orang-orang South East Asian. Seperti para penulisnya, Adele Lim dan Qui Nguyen yang adalah Malaysian American dan Vietnamese American.

Mereka juga beneran melakukan riset yang cukup mendalam untuk menciptakan dunia Kumandra serta elemen di dalamnya. Which I deeply appreciate.

Ini kayak kejadian remake Mulan tahun 2020 lalu yang emang beneran kacau. Kalau itu kebalikan kayaknya, cast-nya emang East Asian tapi orang di balik layar hampir enggak ada orang East Asian, hehe.

Raya dan Namaari

Selanjutnya, gue pun sangat menyayangkan elemen budaya yang ada di dalam film ini hanya sekadar numpang lewat aja. Enggak ada yang benar-benar punya peran besar dalam kisah Raya.

Budaya yang ditunjukkan lewat Kumandra pun terkesan sangat umum. Gimana ya, buat penonton western yang enggak familiar dengan budaya Asia Tenggara, hal ini bisa benar-benar misleading sih.

Mereka akan menganggap bahwa Asia Tenggara itu punya budaya yang sama. Padahal kan ada 11 negara di dalamnya yang masing-masing punya budaya dan tradisi yang unik.

Sesuatu yang kayak diambil secomot-comot aja untuk ditampilkan dalam Kumandra. Mereka kayak menghapus keunikan dari tiap etnis di South East Asia sih dengan melakukan hal ini. They just stupidly mixed everything up.

Padahal cerita-cerita Disney sebelumnya berani kasih setting yang pasti. Kayak Brave di Skotlandia, Frozen di Norwegia, Moana di Hawaii, Mulan di China, dan Coco di Meksiko.

Setiap karakternya pun minim cerita latar yang bagus. Mereka hanya diceritakan sebagai orang-orang dari masing-masing negara yang kayaknya sih fungsinya cuman jadi pelengkap sekaligus sosok yang bikin ketawa aja. Sosok Raya buat gue juga enggak signifikan dan memorable. Padahal masing-masing side characters itu bakal menarik kalau bisa dikasih lebih banyak ruang.

Masing-masing budaya tersebut juga enggak dieksplor secara mendalam. Penonton kayak cuman diajak ngider Kumandra aja ngikutin Raya yang bertualang mencari alat untuk mengalahkan Druun. It’s frustrating.

Oh ya, paling lucu menurut gue, kita orang-orang Asia Tenggara bahkan enggak bisa nonton Raya secara legal lewat OTT Disney+.

Kalau lo mau nonton, lo perlu Disney+ Premiere Access yang enggak tersedia di Disney+ Hotstar Indonesia. Lo cuman bisa nonton ini di bioskop aja. Bingung enggak, lo bikin film buat sekelompok orang tapi sekelompok orang tersebut enggak punya akses paling utama buat nonton filmnya?

So, should we take their word seriously when they said that this movie is for South Asian representation, and then they did things like these? Represent South East Asian my ass.

--

--