Yuni: Pridom abis!

Syifa Nuri
6 min readDec 10, 2021

--

Yuni adalah salah satu film Indonesia terpenting yang pernah kutonton. Yuni berani membahas banyak isu yang masih dianggap tabu di masyarakat Indonesia. Sekaligus juga menyajikannya dengan cara yang apa adanya. Begitu realistis dan menyentuh, sampai-sampai aku butuh beberapa waktu setelah filmnya habis untuk bisa bangkit dari tempat duduk.

“Yuni” berkisah tentang Yuni (Arawinda Kirana), seorang gadis remaja yang duduk di bangku kelas 3 SMA, di sebuah daerah di ujung Banten. Ia adalah gadis ceria, punya banyak teman, pintar di sekolah, dan cukup pemberani.

Seperti halnya remaja pada umumnya, Yuni masih bingung soal masa depannya. Ia gak tahu dirinya siapa serta apa yang ia inginkan pasca lulus sekolah. Apakah kuliah, bekerja, atau malah menikah — hal yang banyak dilakukan teman-temannya.

Kepercayaan di daerahnya, kita tak boleh menolak lamaran lebih dari 2 kali. Pamali, katanya. Lantas, Yuni pun bingung ketika ia dilamar untuk ketiga kalinya. Bagaimana lagi ia bisa menolak lamaran yang satu ini?

“Yuni” mengeksplorasi perjalanan Yuni mencari tahu apa yang ingin lakukan dalam hidup. Di tengah-tengah masyarakat yang begitu patriarkis, tak mengizinkan anak perempuan untuk bisa berkehendak secara bebas dan jadi diri mereka sendiri.

Sebelum mengulasnya dengan cukup rinci, aku mau bercerita dulu kalau aku beruntung sekali bisa 2 kali menyaksikan film “Yuni” dalam 2 versi berbeda, yakni versi festival dan versi bioskopnya.

Keduanya berbeda, sangat berbeda. Versi festival punya durasi 30 menit lebih cepat daripada versi bioskop. Banyak adegan penting yang tidak ditampilkan dalam versi ini. Endingnya pun berbeda, cenderung sangat open-ending dan sedikit membuatku agak bertanya-tanya serta sedikit kecewa.

Namun versi bioskopnya bisa dibilang 3 kali lipat lebih bagus dari versi festivalnya. Selain dari durasi yang jadi lebih lama, banyak adegan penting yang disertakan dalam versi ini. Sehingga penceritaannya jadi lebih koheren dan dekat dengan masyarakat Indonesia. Endingnya pun jadi jauh lebih bagus. Intinya, memang film ini harus banget kamu tonton di bioskop.

Oya, sebelumnya aku juga ingin menyebut betapa istimewanya penampilan para cast di sini. Terutama Arawinda Kirana, Kevin Ardilova, Asmara Abigail, Neneng Risma, dan Marissa Anita. Kalian luar biasa. Preedom Abis!

Selanjutnya, aku akan ulas berbagai isu yang coba dibahas oleh Kamila Andini dalam “Yuni”, ya.

Buatku yang seorang perempuan, beragam hal yang coba disampaikan Kamila Andini dalam “Yuni” terasa begitu dekat dan familiar, begitu realistis. Apa yang Yuni dan kawan-kawannya alami, hingga kini masih para perempuan alami. Di mana-mana. Mungkin itu yang membuatku agak sulit bangun dari tempat duduk setelah filmnya selesai.

Aku dibuat gemetar, merinding, marah, sedih, menangis, tertawa, di sepanjang film. Kamila Andini dengan berani menampilkan isu-isu yang masih tabu dibicarakan. Mungkin aku akan coba uraikan satu per satu ya, agak panjang memang.

Pertama adalah mengenai pernikahan dini. Bukan rahasia lagi kalau pernikahan dini selalu menjadi salah satu masalah yang begitu pelik di Indonesia. Anak-anak yang belum mengerti tanggung jawab berumah tangga semata-mata dinikahkan hanya untuk menghindari zina dan mengalirkan rezeki. Isu ini menurutku jadi core issue yang dibahas di film “Yuni”.

Yuni dikelilingi oleh wanita yang menikah muda. Tetangganya, teman dekatnya sendiri bahkan. Potret sulitnya berumah tangga di usia muda ditampilkan secara gamblang. Bagaimana sulitnya menikah ketika diri belum siap. Alhasil, banyak laki-laki mokondo yang datang-pergi seenaknya ketika mereka tahu menikah tidaklah seindah dan semudah yang mereka kira. Kurasa, itu jadi salah satu alasan kenapa Yuni berani menolak lamaran hingga 2 kali.

Selanjutnya, ada juga isu mengenai seksualitas remaja yang tentu saja selalu jadi topik menarik yang tak ada habisnya untuk dibahas. Sepengalamanku, masa remajaku yang dipenuhi hormon tentunya adalah masa-masa di mana aku begitu penasaran soal seksualitas diri. Sayangnya, tinggal di Indonesia, tanpa akses seks edukasi yang mumpuni, aku pun jadi gak tahu banyak soal itu. Lingkungan rumah pun menutup adanya diskusi sehat soal itu. Apalagi lingkungan pertemanan. Hal itu dianggap tabu. Sesuatu yang Yuni alami.

Remaja adalah masanya eksplorasi diri. Termasuk eksplorasi soal seksualitas diri. Terlihat di sini, Yuni adalah remaja pemberani yang bisa bertanya secara terbuka soal seksualitas pada teman-temannya. Namun tentu saja, keingintahuannya itu ditutup secara kejam karena dianggap tak pantas.

Akibatnya terlihat dari kehidupan seks teman Yuni yang bernama Tika, yang sama sekali tidak sehat. Tika pun diperlihatkan hanya bisa pasrah dengan kehidupan rumah tangganya yang tak jelas. Belum lagi adanya isu soal tes keperawanan yang dibawa oleh salah seorang calon legislatif di daerah Yuni. Isu yang juga sempat mencuat bukan, di Indonesia beberapa tahun lalu?

Ya, adegan-adegan pertama film sudah memperlihatkan potret banyaknya polisi moral di sekitar kita. Adanya tes keperawanan pada remaja putri, larangan bermusik karena dianggap tak sesuai ajaran Islam, dan lainnya. Bikin marah memang.

Semua itu terjadi karena isu kehamilan remaja yang dijadikan alasan membatasi kehidupan para remaja ini lebih erat lagi. Kehamilan teman Yuni yang bernama Ade, serta akhir tragis darinya. Kejadian yang seringkali kita temukan ketika membaca berita pagi setiap harinya.

Kemudian ada juga isu soal kebebasan berkehendak. Jadi perempuan di tengah masyarakat yang begitu patriarki sudah gak bisa lagi dibilang sulit. Banyak dari kita yang tak lagi bisa bebas berkehendak karena dibatasi oleh pendapat bahwa urusan perempuan hanyalah dapur-sumur-kasur saja. Sesuatu yang secara gamblang digambarkan secara realistis di sini.

Uniknya, Yuni digambarkan bukanlah sosok gadis remaja yang manut-manut saja. Ia sosok yang berani mengemukakan pendapatnya, mempertanyakan hal yang menurutnya salah. Namun sayangnya, Yuni dipaksa tidak memiliki kehendak oleh masyarakat patriarki yang kejam. Perempuan tidak lagi bisa berkehendak karena lingkungan masyarakat yang membuatnya seperti itu.

Seperti yang terjadi pada sahabatnya, Sarah, yang diperankan secara brilian oleh Neneng Risma. Sarah adalah salah satu korban orang-orang yang menganggap dirinya sebagai polisi moral. Sarah, seperti Yuni, adalah seorang anak yang masih punya mimpi. Namun ia tak seberani Yuni, ia terpaksa tunduk pada kehendak masyarakat atas nama menghindari zina dan juga rasa malu keluarga. Adegan pernikahan Sarah adalah salah satu adegan paling powerful buatku.

Berkali-kali, mimpi Yuni yang baru berkembang untuk bisa kuliah, dihancurkan seremuk-remuknya oleh perkataan orang-orang di sekitarnya. Tetangga, teman-teman, guru, bahwa perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Toh nantinya hanya akan mengurus suami saja. Sakit hati rasanya berkali-kali melihat hal itu dilakukan berulang oleh banyak orang. Banyak dari mereka yang juga merupakan perempuan.

Terakhir, juga ada isu LGBT yang coba diulas oleh Kamila Andini lewat kisah hidup Teh Asih. Porsinya tak banyak, tapi cukup bikin sakit hati.

Bagian Teh Asih ini yang kemudian jadi pemicu terjadinya salah satu adegan favoritku di film ini. Ketika Yuni berbincang dengan sang ayah, suatu malam di teras rumah.

Sambil memotong kuku, Yuni bertanya apakah jika ia menyukai perempuan seperti Teh Asih, apa ayahnya masih akan menganggapnya sebagai anak?

Jawaban ayah Yuni sampai sekarang masih terngiang-ngiang. Intinya sih begini, bahwa yang jelas hidupnya akan jadi begitu sulit. Namun, hidup apa sih yang tak sulit? Semua hidup pasti sulit. Hanya saja letak kesulitannya yang berbeda. Ia hanya sekali diberi kesempatan jadi orang tua Yuni. Dan untuk satu kesempatan itu, ia akan berusaha untuk bisa meringankan beban dan kesulitan hidup Yuni.

Sederhana memang, tapi aku rasa, itu adalah ungkapan rasa sayang ayah Yuni yang paling terdalam yang bisa ia ungkapkan pada anaknya. Adegan ini mungkin jadi salah satu pemicu juga buat Yuni mengambil keputusan paling menentukan dalam hidupnya yang akan terjadi di ending film.

Di luar itu, kurasa keputusan Yuni juga cukup dipengaruhi dari hubungan pertemanannya dengan sosok Suci, yang diperankan secara sempurna oleh Asmara Abigail. Aku suka sekali dengan karakter ini, celetukan “Pridom abis!” dari Suci gak akan bisa aku lupakan sampai kapan pun.

Ending film ini memang merupakan open ending. Kamu bebas menginterpretasikannya jadi apa pun. Tapi buatku, endingnya memperlihatkan Yuni yang akhirnya berani mengambil keputusannya sendiri.

Melawan ekspektasi-ekspektasi lingkungan terhadapnya, dan tak memilih laki-laki mana pun yang menawarkan jalan keluar untuknya. Ia memilih jalan untuk dirinya sendiri. Aku percaya Yuni akhirnya akan berjuang untuk meraih mimpinya. Walaupun ia masih belum tahu, apa sih mimpinya itu.

Pada akhirnya, film “Yuni” memang adalah salah satu film paling penting di tahun 2021 ini. Resmi jadi salah satu film coming-of-age favoritku. Semoga “Yuni” berhasil menembus nominasi Oscars tahun depan, ya.

Beragam isu khas perempuan yang dibawakan dengan begitu realistis. Semoga bisa membuka diskusi lebih lanjut soal permasalahan yang ada dalam film ini, bahwa menormalisasi itu semua bukanlah hal yang bisa dibiarkan berlanjut begitu saja.

Seperti kata Yuni, “Daripada pacar-pacaran, mending makan cilok”.

--

--